"You can close your eyes to the things you don't want to see, but you can't close your heart to the things you don't want to feel." - Johnny Depp

Kamis, 10 Juli 2014

Kasus Juvenile Delinquent pada Anak SD

Sebuah sekolah negeri di Indonesia memiliki pakaian dengan warna resmi yang serupa, yaitu merah untuk bawahan (celana/rok) dan putih untuk atasan. Walaupun dalam model seragam berbeda, beberapa sekolah ada yang menggunakan rompi dan topi. Masa SD adalah masa dimana anak mulai mengenal dirinya dan identitas dirinya serta belajar menempatkan dirinya dalam berbagai keadaan. Pelajar SD, baik kelas 1 maupun kelas 6, adalah anak yang berada dalam masa perkembangan tercepat kedua setelah masa balita. Lingkungan sangat berpengaruh dalam perkembangan anak. 

Seragam merah putih identik dengan identitas seorang pelajar SD. Seorang pelajar akan membawa nama sekolah dalam setiap perbuatannya, terlebih ketika ia sedang menggunakan seragam. Cara penggunaan seragam pun dapat mencerminkan pribadi seseorang. Seragam yang rapi dan bersih mencerminkan bahwa seseorang senang dengan kerapihan dan memiliki jiwa yang baik, sedangkan ketika seragam yang digunakan lusuh, kotor dan mungkin tidak digunakan dengan baik tentu orang lain langsung berpikiran negative. Oleh sebab itu, ketika seseorang menggunakan seragam diharapkan berbuat baik dan tidak merusak reputasi instansinya. Namun tetap saja ada beberapa pelajar yang berbuat buruk bahkan ketika menggunakan seragam. 

Dalam beberapa kasus yang saya temui, saya melihat anak SD berkembang tidak sesuai dengan umurnya. Saya pernah melihat seorang anak SD yang masih menggunakan seragam merah-putih sedang menghisap sebatang rokok. Menurut perkiraan saya, anak tersebut masih kelas 3 atau 4 SD. Tidak seharusnya seorang anak sekolah merokok. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan dan pergaulan. 

Kenakalan remaja biasa disebut dengan istilah juvenile berasal dari bahasa latin juvenilis, yang artinya anak-anak, anak muda, sifat khas pada periode remaja, sedangkan delinquency berasal dari bahasa latin “delinquere” yang berarti terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, nakal, anti sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, dan lain sebagainya. Juvenile delinquency atau kenakalan remaja adalah perilaku jahat atau kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada remaja Istilah kenakalan remaja mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima sosial sampai pelanggaran status hingga tindak criminal.

Aspek-aspek perilaku Juvenile delinquency (Kenakalan Remaja) dibagi menjadi empat, yaitu: 
a. Kenakalan Terisolir
Kelompok ini merupakan jumlah terbesar dari remaja nakal. Pada umumnya mereka tidak menderita kerusakan psikologis. Perbuatan nakal mereka didorong oleh  keinginan meniru dan ingin conform, contohnya ikut-ikut teman merokok karena ingin dikatakan gaul.
b. Kenakalan Neurotik
Pada umumnya, remaja nakal tipe ini menderita gangguan kejiwaan yang cukup serius, antara lain berupa kecemasan, merasa selalu tidak aman, merasa bersalah dan berdosa. Ciri-ciri perilakunya adalah perilaku nakal bersumber dari sebab-sebab psikologis yang sangat dalam.
c. Kenakalan Psikopatik
Delinkuensi psikopatik ini sedikit jumlahnya, akan tetapi dilihat dari kepentingan umum dan segi keamanan, mereka merupakan oknum kriminal yang paling berbahaya.
d. Kenakalan Defek Moral
Defek (defec, defectus) artinya rusak, tidak lengkap, salah, cedera, cacat, kurang. Delinkuensi defek moral mempunyai ciri-ciri, yaitu selalu melakukan tindakan sosial, walaupun pada dirinya tidak terdapat penyimpangan, namun ada disfungsi pada intelegensinya. Kelemahan para remaja delinkuen tipe ini adalah mereka tidak mampu mengenal dan memahami tingkah lakunya yang jahat, juga tidak mampu mengendalikan dan mengaturnya, mereka selalu ingin melakukan perbuatan kekerasan, penyerangan dan kejahatan, rasa kemanusiaan sangat terganggu, sikapnya sangat dingin tanpa afeksi jadi ada kemiskinan afektif dan sterilitas emosional


Seorang pelajar SD yang masih menggunakan seragam sedang merokok.


Selain itu, kurangnya kontrol pada anak juga dapat menyebabnya penyimpangan. Terlebih lagi saat seorang anak menggunakan seragam dan membawa identitas sekolah. Seperti pada gambar di bawah ini, tiga orang pelajar SD yang menaiki motor dengan pengendara motor yang juga merupakan pelajar SD. Mereka sudah dapat dipastikan belum memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM-C) karena masih di bawah umur dan mereka tidak menggunakan helm. 

      

Lemahnya pengawasan terhadap anak dan kurangnya pengawasan dari pihak sekolah membuat anak tidak memahami mana yang baik dan mana yang buruk. Keadaan tersebut tidak hanya dapat mencelakakan diri mereka dan orang lain tapi juga dapat merusak nama baik sekolah dan nama baik keluarga mereka masing-masing.

Pergaulan masa kini memang sangat bebas. Seorang pelajar SD dapat terlihat seperti layakanya seorang remaja SMA. Hal ini disebabkan oleh pergaulan dan gaya hidup yang mereka anut. Berbagai media elektronik seperti televisi banyak menayangkan sinetron yang memuat para pelajar dengan seragam yang tidak seharusnya dan aksesoris yang tidak sesuai. Model pakaian dari luar negeri pun berpengaruh terhadap cara berpakaian dan cara seorang anak merefleksikan dirinya.

Pelajar SD yang mengunakan seragam tidak sesuai dengan moral yang ada


Tidak hanya di luar sekolah, beberapa pelajar yang menggunakan seragam pun kerap berkelahi di dalam sekolah. Selain menyalahi tata tertib, tentu akan merusak reputasi sekolah. Jika kejadian itu (berkelahi) terjadi di luar sekolah, hal pertama yang anak dilihat oleh orang lain adalah seragam yang menunjukkan identitas diri pelajar. 

Tawuran pun tidak hanya melanda kalangan pelajar SMP dan SMA. Para pelajar SD pun pernah mengikuti tawuran. Adanya sifat bermusuhan telah ada sejak SD, pelajar pun biasanya tauran hanya untuk melihat siapa yang lebih kuat antara sekolah mereka. Dengan masih memakai atribut sekolah, seseorang akan dengan bangga menggunakannya dan ikut dalam tawuran. Padahal hal terbut dapat menjadi hal buruk bagi berbagai pihak. Tawuran sering terjadi karena alasan yang sebenarnya sepele dan bisa diselesaikan baik baik, namun banyaknya provokasi dan keadaan lingkungan yang memungkinkan untuk melakukan tawuran, banyak pelajar yang tergoda untuk melampiaskan kemarahan dan agresinya. Akibat perkelahian tersebut banyak memakan korban baik luka ringan sampai pada kematian. Akibat dari hal tersebut sudah tentu sangat menghawatirkan segenap lapisan masyarakat bahkan sampai ke tingkat yang lebih tinggi, mengancam masa depan bangsa dan Negara Indonesia karena menyangkut masa depan generasi muda yang moralnya kian merosot.


Pelajar SD yang ingin tawuran.

Tidak hanya dalam hal identitas, seorang pelajar pun mengalami krisis diri dan masalah hati. Berita pernah menanyangkan adegan pelajar SD yang hampir bunuh diri hanya karena cintanya ditolak oleh teman sebaya. Hal ini tidak seharusnya terjadi karena dalam umur mereka, cinta masih merupakan hal yang tidak terlalu penting dan dapat dipahami dengan mudah oleh anak-anak.

Perlakuan pelajar SD yang tidak seharusnya dilakukan.

Berita di suatu koran lokal, anak berumur 10 tahun ingin bunuh diri karena cintanya ditolak.


Perubahan jaman dan budaya sangat mempengaruhi baik dari sisi moral maupun materi yang digunakan. Seragam pun mangalami perubahan seriing berjalannya waktu. Sekarang, lebih banyak sekolah yang menggunakan rok panjang agar menghindari pelajar dari pelecehan seksual ataupun perbuatan-perbuatan yang tidak diinginkan.

Pendidikan keluarga merupakan hal yang sangat peting karena disinilah pondasi dasar karakter anak terbentuk. Kesibukan kerja, masalah ekonomi bukan jadi alasan untuk tidak memperhatikan anak. Anak adalah amanah yang sangat berat diberikan tuhan. Jika anak menjadi tidak bermoral atau tidak berahklak, maka orang tua dimentai pertanggung jawaban terlebih dahulu diakhirat nanti. Orang tua harus ‘belajar’ mendidik seorang anak atau dikenal dengan istilah ilmu parenting. Belajar disini bukan harus dimaknai dengan sekolah dan membaca buku, tetapi belajar bisa dilakukan dengan cara memberikan yang terbaik untuk calon generasi penerus.

Oleh karena itu, pola asuh zaman dulu, tidak bisa disamakan dengan masa sekarang, problematika anak sangat beranekaragam, maka dituntut menggunakan ‘jurus-jurus’ baru.  Minimal yang dilakukan oleh orang tua adalah memberikan tauladan yang baik terhadap anak, selalu mendo’akan anak ketika sholat, dan memperhatikan pendidikan anak ketika mendapat tugas dari sekolah.



Pelajar merupakan generasi penerus bangsa, harapan bangsa untuk membuat negeri ini menjadi lebih baik. Sudah seharusnya setiap pelajar dididik sebaik mungkin sejak dini dan mempunyai tingkah laku yang terpuji, baik saat menggunakan seragam dan membawa identitas sekolah maupun saat tidak memakai seragaam. Setiap pelajar diharapkan mampu membawa nama baik sekolah dan bangga dengan identitas dirinya dengan menggunakan seragam tanpa berbuat hal buruk. Dengan begitu setiap sekolah akan memiliki pelajar yang sesuai dengan harapan bangsa.

Labels

1PA03 (10) 2PA05 (4) cinta (2) cowo (3) Favorit (1) Gundar (17) Homemade (1) Kampus (14) kesel (1) Kuliah (15) Resep (1) satnite (1) sendiri (3) Softskill (15) Tugas (15)